249 Bidang Lahan Belum Dibayar, Proyek Rp 281 Miliar di Lombok Utara Menuai Polemik

banner 120x600
banner 468x60

Tanjungtv.com – Proyek strategis nasional pelebaran jalan Pemenang-Bayan-Sembalun sepanjang 41,65 km di Kabupaten Lombok Utara (KLU), Provinsi Nusa Tenggara Barat, masih menyisakan kisah pilu bagi warga terdampak. Dari total 1.147 bidang lahan yang terkena proyek, sebanyak 249 bidang hingga kini belum menerima ganti rugi yang layak. Polemik ini menjadi sorotan tajam di tengah pelaksanaan proyek senilai Rp 281 miliar yang bersumber dari pinjaman Bank Dunia.

Kisah Fadli: Lima Toko, Satu Usaha Bertahan
Fadli (34), pemilik lima toko di kawasan Tanjung, adalah salah satu korban proyek ini. Dari lima toko seluas total 94 meter persegi, 74 meter persegi telah digusur untuk pelebaran jalan. Ganti rugi yang diterimanya, sebesar Rp 190 juta, dianggap tak sebanding dengan nilai ekonomis toko-toko tersebut.

banner 325x300

“Lima toko itu dulu menghasilkan omzet yang cukup besar. Kini, hanya satu toko kecil yang tersisa. Bahkan, ukuran tokonya pun hanya 1,5 x 2,5 meter, cukup untuk usaha jok motor,” keluh Fadli. Menurutnya, ganti rugi tidak cukup untuk membangun ulang toko atau memulai usaha baru. “Dulu ada penyewa, sekarang tidak. Luasnya yang kecil membuat toko ini tidak layak lagi sebagai tempat usaha,” ujarnya.

Nirdip: Masalah Konsinyasi dan Utang Bank
Masalah lain menimpa Nirdip, seorang warga Dusun Beraringan, Kayangan. Ia memiliki enam bidang lahan seluas 52 meter persegi yang terkena proyek ini. Ganti rugi sebesar Rp 19 juta telah dititipkan di Pengadilan Negeri Mataram melalui mekanisme konsinyasi. Namun, proses administrasi menjadi penghalang utama.

“Lahan saya diagunkan ke bank, dan sertifikatnya tidak bisa dilepaskan hingga utang lunas. Padahal, uang ganti rugi itu bisa saya gunakan untuk mencicil utang,” ujarnya. Nirdip berharap ada solusi yang lebih manusiawi, seperti mekanisme pencairan ganti rugi tanpa harus menunggu utang lunas.

Cepat di Pengadilan, Lambat di Lapangan
Proses konsinyasi di Pengadilan Negeri Mataram memang terbilang cepat. Menurut Pasal 123 UU Cipta Kerja, permohonan konsinyasi harus diputuskan maksimal 14 hari kerja setelah teregistrasi. Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram, Kelik Trimargo, menegaskan bahwa proses ini telah memenuhi tenggat waktu.

“Namun, nilai ganti rugi yang diputuskan sesuai appraisal tetap menjadi batu sandungan bagi warga. Suka tidak suka, harus diterima,” katanya.

Dampak Sosial dan Ekonomi
Pelebaran jalan ini memang membawa harapan besar bagi peningkatan pariwisata dan ekonomi lokal, mengingat proyek ini merupakan bagian dari Indonesia Tourism Development Project (ITDP). Namun, di sisi lain, warga seperti Fadli dan Nirdip merasakan dampak negatif yang signifikan.

“Kalau pemerintah ingin mengembangkan ekonomi, harusnya warga seperti kami juga diprioritaskan. Jangan hanya membangun infrastruktur tanpa memperhatikan nasib orang-orang kecil,” kata Nirdip dengan nada getir.

Harapan Solusi
Warga terdampak mendesak pemerintah untuk mengambil langkah lebih inklusif. Peninjauan ulang mekanisme ganti rugi dan penyelesaian masalah administrasi diharapkan dapat memberikan keadilan. “Proyek ini harusnya membawa kemajuan, bukan penderitaan,” pungkas Fadli.

Di tengah semarak pembangunan, kisah-kisah ini menjadi pengingat bahwa pembangunan tidak hanya soal jalan lebar dan angka miliar, tetapi juga tentang manusia yang harus merasakan manfaatnya secara langsung.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *