Tanjungtv.com – Ahmad Aidit, nama yang mungkin tak asing di telinga kita. Namun, di balik nama besar ini tersimpan sebuah kisah hidup yang penuh dengan kontradiksi dan pelajaran berharga tentang keistiqomahan. Aidit, lahir dan besar di Belitung, adalah putra seorang ulama yang dihormati di kampungnya. Ayahnya, seorang Minangkabau yang taat, mendirikan sekolah Muhammadiyah di tanah kelahirannya dan membesarkan Aidit dengan nilai-nilai keislaman yang kokoh. Namun, siapa sangka, sosok yang dulunya rajin mengaji ini, akan berakhir menjadi pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dan terlibat dalam pemberontakan G30SPKI?
Kisah hidup Aidit dimulai dengan cahaya iman yang terang. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang cerdas dan memiliki suara lantang dalam mengumandangkan adzan. Tanpa teknologi TOA yang ada saat ini, suara Aidit yang merdu menjadi panggilan bagi umat untuk shalat berjamaah. Tidak hanya itu, ia juga sering diminta untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an dalam berbagai acara keagamaan. Sorot matanya yang tajam dan kecerdasannya dalam menyerap ilmu agama menjadikannya sosok yang disegani di lingkungannya.
Namun, perubahan drastis terjadi ketika Aidit melanjutkan pendidikan di Sekolah Dagang di Jakarta. Di ibu kota, ia terjerumus dalam pergaulan yang salah. Nilai-nilai keagamaan yang dia pegang sejak kecil mulai luntur. Perlahan, ia tenggelam dalam buku-buku Marxisme-Leninisme dan mulai bergabung dengan para aktivis komunis. Nama “Ahmad” yang ia banggakan sejak kecil, kemudian dihilangkannya. Ia lebih memilih menggunakan nama “Dipa Nusantara Aidit” atau yang lebih dikenal dengan DN Aidit.
Kecerdasannya yang luar biasa, membuat Aidit cepat naik ke puncak kepemimpinan PKI. Ia bahkan melakukan perjalanan ke negara-negara komunis seperti Tiongkok dan Uni Soviet untuk belajar langsung dari para pemimpin ideologi tersebut. Namun, yang paling ia kagumi adalah Mao Zedong dari Tiongkok. Ide Mao tentang revolusi cepat sangat mempengaruhi pemikiran Aidit, terutama ketika ia merencanakan pemberontakan G30SPKI.
Aidit merasa revolusi di Indonesia harus segera dipercepat, apalagi dengan kondisi Presiden Soekarno yang saat itu sedang sakit. Ia khawatir bahwa setelah Soekarno tiada, tidak akan ada lagi ruang bagi PKI di negeri ini. Langkah-langkah strategis pun mulai ia susun dengan cermat. Salah satunya adalah menyebarkan isu tentang Dewan Jenderal, yang dituduh akan menggulingkan Soekarno. Namun, rencana licik itu akhirnya berujung pada tragedi kelam yang kita kenal sebagai G30SPKI.
Setelah peristiwa tersebut, Aidit melarikan diri ke Jawa Tengah. Ia berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, bersembunyi dari kejaran pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang terus memburunya. Akhirnya, pada November 1965, Aidit tertangkap di Solo. Dengan sebuah akhir yang ironis, pemimpin besar PKI ini ditemukan bersembunyi di dalam lemari di belakang Stasiun Balapan.
Dalam detik-detik terakhir hidupnya, Aidit tetap setia pada ideologi komunis. Saat diberi kesempatan untuk menyampaikan kata-kata terakhir, alih-alih beristighfar atau memohon ampun, Aidit justru menyampaikan pidato yang memuji komunisme. Pidato itu berakhir tragis ketika regu tembak menembaknya hingga tewas di sumur tua di Boyolali.
Kisah hidup Aidit mengingatkan kita akan pentingnya keistiqomahan dalam menjalani hidup. Bagaimana sosok santri cerdas yang dulu bersuara merdu dalam mengumandangkan adzan, berakhir sebagai pengkhianat bangsa. Ini adalah bukti bahwa istiqomah, atau konsistensi dalam kebaikan, adalah sesuatu yang sangat berat. Hidayah Allah adalah sesuatu yang sangat mahal, dan hanya diberikan kepada mereka yang dipilih-Nya. Pelajaran terbesar dari kisah Aidit adalah bahwa pergaulan dan lingkungan sangat mempengaruhi jalan hidup seseorang. Maka, penting bagi kita untuk selalu berada di lingkungan yang baik dan menjaga keimanan agar tetap kuat di tengah godaan zaman.
Sungguh, Istiqomah itu berat, namun ganjarannya tak ternilai harganya.