Tanjungtv.com – Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman, termasuk dalam sistem pendidikannya yang dibagi menjadi dua lembaga utama: Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama. Namun, di balik kemajuan dunia pendidikan yang terus digaungkan oleh pemerintah, ada sekelompok pahlawan tanpa tanda jasa yang masih terpinggirkan—para guru madrasah non-PNS yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Kisah mereka menggambarkan ketimpangan yang mencolok dalam dunia pendidikan di Indonesia, serta harapan yang belum kunjung terpenuhi.
Ketidakadilan dalam Dunia Pendidikan
Saftiani Atina Salah satu guru madrasah, yang telah mengabdi sejak tahun 2008, menuturkan kisahnya yang mencerminkan betapa sulitnya kehidupan sebagai guru madrasah non-PNS. Status guru non-PNS ini, meskipun telah mengabdi selama bertahun-tahun, membuat mereka menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan, mulai dari kesejahteraan hingga hak-hak dasar sebagai tenaga pengajar. Mereka adalah guru-guru yang bekerja dengan dedikasi yang sama seperti guru di bawah Dinas Pendidikan, namun perlakuan yang diterima jauh berbeda.
Ketidakadilan ini bermula dari peraturan yang membedakan status kerja antara guru yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama. Guru yang bekerja di madrasah—sekolah yang berada di bawah Kementerian Agama—tidak memiliki akses yang sama terhadap tunjangan dan kesejahteraan seperti guru di sekolah umum. Mereka sering kali disebut sebagai “anak tiri” dalam dunia pendidikan karena kurangnya perhatian dari pemerintah.
Meskipun beban kerja mereka sama, baik dari sisi jam mengajar hingga tanggung jawab mendidik, perbedaan mencolok terlihat pada remunerasi yang diterima. Para guru madrasah non-PNS tidak memiliki kepastian mengenai masa depan mereka. Mereka tidak memiliki jalur yang jelas untuk diangkat menjadi PNS, yang seharusnya menjadi hak bagi guru yang telah lama mengabdi. Banyak dari mereka yang terus bertahan dengan honorarium yang sangat minim, yang jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Guru Non-PNS, Harapan yang Tak Kunjung Tiba
Salah satu yang paling menyakitkan bagi para guru madrasah adalah ketidakjelasan nasib mereka. Banyak dari mereka yang telah mengabdi selama puluhan tahun, namun status mereka masih tetap sama—guru honorer non-PNS. Tidak sedikit dari mereka yang telah mendekati usia pensiun tanpa jaminan masa depan yang jelas. Tidak ada kepastian apakah mereka akan diangkat menjadi PNS atau tetap dibiarkan mengabdi tanpa penghargaan yang layak.
Keadaan ini menjadi semakin ironis ketika melihat bagaimana guru honorer di bawah Dinas Pendidikan telah mendapatkan berbagai kesempatan untuk meningkatkan status mereka. Melalui program-program seperti PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) dan jalur ASN, guru honorer di Dinas Pendidikan memiliki harapan yang jelas untuk diangkat menjadi PNS. Namun, kesempatan ini tampaknya belum berlaku bagi para guru madrasah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama.
“Guru-guru non-PNS di Kemenag tidak pernah jelas nasibnya. Kami tidak tahu apakah kami bisa hidup sejahtera atau tidak. Kami terus bekerja dengan penuh tanggung jawab, tapi tidak ada kepastian tentang masa depan kami. Apakah kami harus terus bertahan dengan honorarium yang sangat minim?” ujar salah seorang guru madrasah yang sudah mengabdi lebih dari 10 tahun.
Beban Kerja Sama, Perlakuan Berbeda
Ketimpangan ini semakin terlihat mencolok ketika melihat bagaimana beban kerja para guru madrasah sebenarnya tidak berbeda dengan guru di sekolah umum. Mereka mengajar dengan jam yang sama, menyusun rencana pembelajaran, mendidik siswa, hingga mengikuti berbagai pelatihan yang diadakan oleh Kementerian Agama. Namun, perlakuan yang mereka terima sangat berbeda.
Tunjangan yang diberikan kepada guru madrasah non-PNS sangat minim, bahkan sering kali tidak cukup untuk menutupi biaya hidup sehari-hari. Beberapa dari mereka terpaksa bekerja tambahan di luar jam mengajar demi memenuhi kebutuhan keluarga. Ironisnya, meskipun mereka berkontribusi besar dalam dunia pendidikan, status mereka tetap berada dalam bayang-bayang ketidakpastian.
Keadaan ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa Kementerian Agama, yang seharusnya bertanggung jawab atas pendidikan di madrasah, tidak memberikan perhatian yang layak kepada para guru ini? Mengapa mereka tidak diperlakukan setara dengan guru di bawah Dinas Pendidikan? Padahal, peran mereka sama pentingnya dalam membentuk generasi bangsa.
Jeritan untuk Perubahan
Tidak dapat dipungkiri bahwa guru adalah ujung tombak dalam dunia pendidikan. Namun, bagaimana jika mereka yang berdiri di garda depan ini justru diperlakukan dengan tidak adil? Harapan para guru madrasah untuk mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah tampaknya masih menjadi angan-angan yang jauh dari kenyataan.
Beberapa upaya sebenarnya telah dilakukan oleh para guru madrasah untuk menyuarakan ketidakadilan yang mereka rasakan. Serikat Guru Indonesia (SGI) telah beberapa kali menyampaikan aspirasi para guru ini, berharap ada perubahan dalam sistem perekrutan dan kesejahteraan bagi guru madrasah non-PNS. Namun, hingga saat ini, belum ada langkah nyata yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini.
Para guru madrasah hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti pemerintah akan mendengar jeritan mereka. Mereka berharap ada kebijakan yang lebih adil dan setara, yang memberikan mereka kesempatan untuk meningkatkan status mereka, seperti yang telah diberikan kepada guru di Dinas Pendidikan.
“Apakah kami tidak layak mendapatkan kesejahteraan yang sama? Padahal kami juga mengajar, mendidik, dan membimbing anak-anak bangsa dengan sepenuh hati. Kami berharap pemerintah bisa mendengar dan memperhatikan nasib kami,” ungkap salah satu guru madrasah dengan harapan besar.
Pemerintah, Dengarlah Kami!
Harapan terbesar para guru madrasah non-PNS saat ini adalah adanya kebijakan yang lebih adil dari pemerintah, khususnya dari Kementerian Agama. Mereka ingin diperlakukan setara dengan guru-guru lain, baik dari sisi kesejahteraan maupun status kerja. Mereka tidak meminta lebih, hanya keadilan agar bisa menjalani kehidupan yang layak setelah bertahun-tahun mengabdi di dunia pendidikan.
Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi ketimpangan ini. Jangan biarkan para guru madrasah terus hidup dalam ketidakpastian. Mereka adalah pilar penting dalam mencerdaskan anak bangsa, dan sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang layak.
Dengan adanya perubahan kebijakan yang berpihak pada guru madrasah, diharapkan tidak ada lagi ketimpangan antara guru di bawah Kementerian Agama dan Dinas Pendidikan. Semua guru harus diperlakukan dengan adil, mengingat peran mereka yang sama-sama penting dalam mencerdaskan generasi bangsa.
Akhir kata, semoga pemerintah segera mendengar dan merespon jeritan hati para guru madrasah ini. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sejalan dengan tugas mulia yang mereka emban setiap hari.