Tanjungtv.com – Aturan baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 22 Tahun 2024 menuai kontroversi di tengah masyarakat. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah penghapusan klausul tentang diperbolehkannya akad nikah di luar hari dan jam kerja. Hal ini berdampak langsung pada pasangan yang telah merencanakan akad nikah di akhir pekan atau hari libur. Sebelumnya, dalam PMA Nomor 20 Tahun 2019, tercantum bahwa akad nikah bisa dilakukan di luar KUA dan di luar jam kerja. Namun, pada aturan baru ini, ketentuan tersebut dihapus, sehingga memunculkan kebingungan di kalangan publik.
Kebingungan di Tengah Masyarakat Banyak calon pengantin yang merasa khawatir dan bingung dengan perubahan ini. “Saya sudah merencanakan akad nikah di hari Minggu karena itu waktu yang paling pas untuk keluarga besar kami berkumpul. Namun, dengan aturan baru ini, saya bingung apakah harus mengubah rencana,” ungkap Rina (28), calon pengantin asal Surabaya.
Kebijakan ini juga berdampak pada mereka yang telah memesan tempat akad di luar KUA di hari libur. Mengubah tanggal pernikahan berarti harus menyesuaikan kembali dengan ketersediaan gedung, vendor, hingga tamu undangan, yang bisa menambah biaya dan merusak rencana yang sudah disusun sejak jauh hari. “Kami sudah booking tempat dan catering, mengubah jadwal pernikahan bukan hanya repot tapi juga akan menambah biaya,” ujar Rizki (30), yang akan menikah di Yogyakarta akhir tahun ini.
Klarifikasi Kemenag dan Reaksi Masyarakat Kementerian Agama melalui Juru Bicaranya, Anna Hasbie, berusaha meredakan polemik ini dengan memberikan klarifikasi bahwa akad nikah masih bisa dilakukan di luar KUA, baik di hari kerja maupun hari libur. “Kami ingin meluruskan bahwa pernikahan bisa tetap dilaksanakan di luar KUA, bahkan pada hari libur,” kata Anna. Namun, ia juga menekankan bahwa pelayanan di KUA tetap terbatas pada hari dan jam kerja, sehingga pencatatan resmi di KUA tetap mengikuti jam operasional mereka.
Meskipun demikian, klarifikasi ini tidak sepenuhnya meredakan keresahan di masyarakat. Sebagian besar kebingungan disebabkan oleh perbedaan interpretasi di lapangan, terutama dari para penghulu. Beberapa penghulu dikabarkan telah memberi tahu calon pengantin bahwa akad di luar jam kerja tidak akan diterbitkan buku nikahnya pada hari itu, sehingga mereka harus menempuh proses isbat nikah di Pengadilan Agama untuk mendapatkan dokumen tersebut.
Pakar Hukum: Aturan Perlu Revisi Ahmad Tholabi Kharlie, guru besar Ilmu Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah, menilai bahwa aturan ini perlu diperbaiki. “Pasal 16 dalam PMA 22/2024 ini memang menimbulkan tafsir yang beragam dan tidak sinkron dengan aturan lainnya terkait pencatatan pernikahan. Ini jelas menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat,” ujarnya.
Tholabi menegaskan bahwa Kemenag perlu segera melakukan harmonisasi norma agar aturan ini lebih jelas dan tidak menimbulkan multi-tafsir. Menurutnya, ada dua opsi yang bisa diambil Kemenag: merevisi aturan tersebut atau setidaknya memberikan tafsir resmi agar tidak menimbulkan kebingungan lebih lanjut. Selain itu, Tholabi menyarankan agar Kemenag lebih aktif dalam sosialisasi agar pasangan yang akan menikah memahami aturan dengan jelas.
Proses Sosialisasi yang Diharapkan Kemenag menyebutkan bahwa aturan baru ini belum berlaku secara efektif dan akan mulai diterapkan pada Januari 2025. Masa tenggang tiga bulan ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh Kemenag untuk mendengar masukan dari berbagai pihak dan memberikan penjelasan yang lebih rinci kepada masyarakat.
“Kami akan terus melakukan sosialisasi dan mendengar masukan dari masyarakat agar aturan ini dapat dipahami dengan baik,” tambah Anna Hasbie. Namun, sebagian masyarakat menganggap waktu tiga bulan ini terlalu singkat untuk melakukan sosialisasi yang merata, terutama di daerah-daerah yang mungkin tidak memiliki akses informasi yang memadai.
Kekhawatiran Pasangan Pengantin Bagi banyak calon pengantin, aturan ini dianggap sebagai beban tambahan di tengah persiapan pernikahan yang sudah cukup rumit. “Kami sudah membuat rencana jauh-jauh hari, jika harus mengubah semuanya karena aturan baru, ini akan sangat merepotkan,” ujar Dito (32), calon pengantin yang rencananya menikah di akhir tahun.
Kekhawatiran lainnya muncul terkait proses pencatatan pernikahan di KUA. Jika KUA hanya melayani pencatatan di hari kerja, apakah hal ini berarti pasangan yang menikah di akhir pekan harus menunggu hari kerja berikutnya untuk mendapatkan buku nikah mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menjadi kekhawatiran di kalangan masyarakat yang berharap adanya solusi dari pemerintah.
Kemenag Diminta Segera Bertindak Dari berbagai masukan yang muncul, jelas bahwa Kemenag perlu mengambil langkah cepat untuk mengatasi kebingungan ini. Tidak hanya dengan memberikan klarifikasi di media, tetapi juga dengan mengedarkan panduan resmi yang bisa diakses oleh masyarakat luas dan para penghulu di lapangan. Panduan tersebut harus menjelaskan secara rinci bagaimana aturan ini akan diberlakukan dan apa dampaknya terhadap pernikahan di luar jam kerja.
Dengan masa tenggang yang tersisa, Kemenag diharapkan mampu memberikan solusi yang adil bagi pasangan yang ingin menikah di hari libur. “Aturan ini perlu disikapi dengan bijak, mengingat banyaknya pasangan yang sudah merencanakan pernikahan mereka sebelum aturan ini keluar,” ujar Tholabi.
Saat ini, masyarakat masih menunggu langkah nyata dari Kemenag agar aturan ini tidak justru menjadi beban bagi mereka yang sedang mempersiapkan momen penting dalam hidup mereka.