Tanjungtv.com – Proyek pelebaran jalan nasional Pemenang-Bayan-Sembalun sepanjang 41,65 km yang menelan anggaran sebesar Rp281 miliar akhirnya rampung. Namun, di balik capaian proyek tahun jamak 2023-2024 ini, terdapat persoalan krusial yang membutuhkan perhatian serius, terutama terkait appraisal atau penaksiran harga lahan. Masalah ini bukan hanya menyentuh aspek teknis, tetapi juga melibatkan keadilan sosial bagi warga terdampak.
Ketimpangan Penilaian Harga Lahan
Salah satu isu utama yang mencuat adalah ketidaksesuaian antara nilai ganti rugi yang ditawarkan dengan harga lahan dan bangunan sebenarnya. Banyak warga mengeluhkan bahwa proses appraisal tidak memperhitungkan elemen penting seperti usia bangunan, kondisi fisik, maupun dampak sosial akibat kehilangan aset tersebut.
Di pertokoan Tanjung, misalnya, sejumlah warga merasa bahwa komponen bangunan tambahan seperti sumur, septic tank, dan aksesoris lainnya diabaikan dalam penilaian. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan, mengingat nilai ganti rugi yang diterima jauh dari harapan mereka.
“Warga merasa dirugikan karena nilai ganti rugi yang mereka terima tidak mencerminkan nilai sebenarnya dari aset mereka. Selain itu, proses penilaian dianggap tidak transparan dan kurang melibatkan warga secara aktif,” ujar salah satu sumber terpercaya yang memahami dinamika di lapangan.
Dampak Sosial yang Tak Terabaikan
Tidak hanya soal angka, proyek ini juga memicu dampak sosial yang signifikan. Banyak warga kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, hingga ikatan sosial yang selama ini mereka nikmati di tanah leluhur mereka. Kekhawatiran akan masa depan menjadi persoalan yang sulit terjawab, meskipun pemerintah menjanjikan pembangunan infrastruktur yang lebih baik.
“Ini bukan hanya soal uang, tetapi soal keadilan dan penghormatan terhadap hak warga,” tegas seorang anggota legislatif setempat yang aktif memantau persoalan ini.
Harapan Peninjauan Ulang
Menyikapi persoalan ini, anggota Komisi I DPRD Kabupaten Lombok Utara, Raden Nyakradi, mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk segera melakukan evaluasi mendalam. Menurutnya, warga terdampak harus dilibatkan secara aktif dalam proses appraisal, dan mekanisme penilaian perlu disesuaikan agar lebih adil dan transparan.
“Kami meminta agar dilakukan peninjauan ulang terhadap proses penilaian dan pembayaran ganti rugi. Warga harus diberikan ruang untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi mereka,” ungkapnya.
Tantangan Proyek 2025
Pada 2025, Pemda KLU kembali dihadapkan pada rencana pembebasan lahan sepanjang 7 km di lima titik strategis, termasuk Karang Kates, Lekok, Jugil, Sukadana, dan Karang Bajo. Wilayah ini, yang dipenuhi permukiman padat dan bangunan, diproyeksikan menjadi tantangan besar dalam proses pembebasan lahan.
“Pengerjaan di daerah padat penduduk memang memakan waktu lebih lama, tapi kita siap jika itu untuk kepentingan masyarakat,” ujar Bupati Lombok Utara, Djohan Samsu.
Ke Mana Arah Solusi?
Meskipun proyek ini digadang-gadang sebagai langkah maju dalam pembangunan infrastruktur, keberhasilan proyek ini tidak dapat hanya diukur dari panjang jalan yang selesai. Penanganan masalah sosial, keterlibatan warga, dan keadilan dalam appraisal menjadi elemen kunci untuk menjawab keluhan warga. Jika tidak segera ditangani, ketimpangan ini bisa menjadi bom waktu yang menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap proyek-proyek pembangunan di masa depan.
Akankah evaluasi yang diusulkan mampu menjawab tuntutan warga? Atau, justru menyisakan persoalan yang semakin berlarut-larut? Hanya waktu yang akan menjawab.