Tanjungtv.com – Kabupaten Lombok Utara kembali jadi sorotan. Angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencatat rekor yang mengerikan di tahun 2024 ini. Berdasarkan data dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) KLU, tercatat sebanyak 136 kasus kekerasan terhadap anak dan 20 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga Desember 2024.
Kepala UPT PPA KLU, Ni Putu Rumini, menuturkan bahwa tingginya jumlah laporan ini bukan semata karena kasus yang meningkat, tetapi juga karena kesadaran masyarakat untuk melapor kini semakin tinggi.
“Dulu banyak kasus seperti ini, tapi tidak terdata karena masyarakat enggan melapor. Sekarang, berkat sosialisasi yang masif, masyarakat mulai percaya pada perlindungan yang disediakan pemerintah,” ujar Rumini, Kamis (19/12).
Namun, di balik kabar positif ini, data yang terkuak tetap menyesakkan. 37 kasus kekerasan seksual dan 60 kasus pernikahan dini menjadi momok yang mendominasi laporan kekerasan terhadap anak. Sedangkan untuk perempuan, 7 kasus kekerasan seksual dan 7 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi bukti nyata bahwa perempuan masih berada di bawah bayang-bayang kekerasan di rumah sendiri.
“Saat Luka Lebih Dalam dari Kata-kata”
Rumini menegaskan bahwa pihaknya langsung bergerak cepat ketika menerima laporan kasus kekerasan fisik, terutama yang menyebabkan luka lebam atau robek pada alat vital korban.
“Tidak ada toleransi untuk kekerasan fisik, apalagi kekerasan seksual. Kami langsung melakukan visum dan berkoordinasi dengan kepolisian,” tegasnya.
Mengerikan? Jelas. Tapi ini kenyataan yang terjadi di Lombok Utara. Satu kasus saja sudah cukup membuat bulu kuduk merinding. Bayangkan jika ini terjadi pada anak atau kerabat kita?
“Fenomena Pernikahan Dini: Tradisi atau Tragedi?”
Selain kekerasan seksual, angka 60 kasus pernikahan dini juga menjadi perhatian khusus. Budaya yang seharusnya menjadi identitas kearifan lokal malah berubah menjadi jebakan bagi masa depan anak-anak.
“Banyak dari kasus pernikahan dini ini bermula dari ketidakpahaman orang tua terhadap dampaknya. Sosialisasi kami terus lakukan agar masyarakat sadar bahwa pernikahan dini lebih banyak membawa masalah daripada solusi,” jelas Rumini.
“Jangan Malu, Jangan Diam”
Kabar baiknya, masyarakat Lombok Utara kini mulai berani angkat bicara. Apa yang dulu dianggap sebagai aib kini dilihat sebagai tindakan kejahatan yang harus diusut tuntas. Berkat kampanye dan edukasi dari UPT PPA, stigma itu perlahan memudar.
Namun, apakah ini cukup? Rumini sendiri mengakui bahwa ini baru langkah awal.
“Kesadaran ini adalah hal positif. Tapi untuk benar-benar menekan angka kasus, kita perlu kerja sama semua pihak, dari keluarga, masyarakat, hingga pemerintah,” tambahnya.
“Perempuan dan Anak Adalah Masa Depan”
Kasus-kasus yang terus mencuat ini mengingatkan kita bahwa perempuan dan anak bukan hanya korban, tetapi harapan bangsa. Menekan angka kekerasan bukan hanya tugas pemerintah atau UPT PPA. Ini adalah tanggung jawab kolektif.
Banyak PR yang harus diselesaikan. Mulai dari edukasi, penegakan hukum yang tegas, hingga menciptakan lingkungan aman dan nyaman untuk anak dan perempuan.
Mari kita mulai dengan hal kecil: buka mata, buka hati, dan buka suara. Jangan biarkan Lombok Utara terus jadi headline dengan berita suram seperti ini.
Jika bukan kita, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi?