Tanjungtv.com – Perumpamaan Fudail bin Iyad yang hidup pada generasi sahabat tentang munafik dan orang bertakwa seakan menjadi cermin bagi kehidupan modern yang semakin penuh tipu daya. Dalam sebuah gambaran yang sederhana namun menghujam, beliau menyamakan orang munafik dengan seseorang yang menanam duri namun berharap tumbuh kurma. Sebaliknya, orang bertakwa diibaratkan seperti orang yang menanam pohon kurma, tetapi tetap khawatir duri yang akan tumbuh. Lantas, bagaimana bisa seseorang bermimpi manis panen kurma, tetapi setiap hari yang ditanam hanyalah duri kebohongan dan janji-janji palsu?
Dalam kehidupan sehari-hari, sifat munafik tak ubahnya seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dari keluarga hingga komunitas, dari kantor hingga jejaring pertemanan, kehadiran seorang munafik bisa merusak harmoni dan menanam fitnah. Bukan hanya pelakunya yang hancur dalam kehinaan, tetapi korban-korbannya pun terseret dalam arus dusta yang membelenggu.
Munafik dalam Al-Quran: Peringatan yang Tak Pernah Usai
Allah SWT memberikan perhatian khusus terhadap sifat munafik dalam Al-Quran, bahkan lebih sering daripada sifat orang kafir. Surat Al-Baqarah menjelaskan tiga golongan manusia: orang bertakwa, orang kafir, dan orang munafik. Dari ketiganya, golongan munafik disebut paling berbahaya. Mengapa? Karena mereka memiliki dua wajah: satu wajah Islami ketika bersama kaum muslimin, tetapi berubah menjadi wajah pengingkar saat berada di tengah orang yang memusuhi Islam.
Bahaya munafik ini bahkan digambarkan Allah SWT dalam Surat An-Nisa: 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.” Perilaku mereka tidak hanya menyakitkan hati, tetapi juga menggerogoti kepercayaan masyarakat. Munafik adalah “penipu” dalam kehidupan sosial, yang menebar janji palsu namun tak pernah menunaikan apa yang diucapkan.
Durinya Fitnah dan Luka Sosial
Fitnah, yang sering kali menjadi buah dari pohon kemunafikan, digambarkan sebagai kejahatan yang lebih kejam daripada pembunuhan (QS. Al-Baqarah: 191). Jika sifat munafik merajalela dalam keluarga atau lingkungan kerja, kekacauan tak dapat dihindarkan. Janji-janji palsu menjadi penghambat kesuksesan, menciptakan kebencian, dan bahkan melahirkan konflik yang tak berkesudahan.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Al-Mar’u ala diini khalilihi”, yang artinya agama seseorang bergantung pada siapa temannya. Maka, memilih teman yang tepat adalah langkah awal menjauhi sifat munafik.
Generasi Masa Depan, Bebas dari Munafik
Peringatan tentang bahaya munafik harus diteruskan kepada generasi mendatang. Anak-anak dan cucu kita harus paham bahwa kebohongan, ingkar janji, dan pengkhianatan adalah bagian dari sifat munafik yang membawa kerusakan besar. Jika nilai-nilai kejujuran, amanah, dan tanggung jawab ditanamkan sejak dini, generasi mendatang akan menjadi benteng peradaban Islam yang mulia.
Ketakutan Orang Bertakwa: Panen Kurma atau Duri?
Orang bertakwa, meskipun menanam kurma, tetap diliputi rasa takut apakah pohonnya akan menghasilkan buah manis atau malah duri yang melukai. Ketakutan ini bukan karena kurangnya iman, tetapi justru lahir dari iman yang mendalam, bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Sikap inilah yang seharusnya menjadi panutan. Alih-alih menanam duri sambil bermimpi indah, marilah kita fokus menanam kebaikan sambil terus memperbaiki diri. Sebab, janji Allah SWT sangat tegas: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan yang paling rendah dalam api neraka” (QS. An-Nisa: 145).
Akhir Kata
Munafik bukan sekadar istilah, melainkan ancaman nyata dalam kehidupan. Jangan sampai kita menjadi pelakunya atau bahkan korbannya. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT untuk menjauhi sifat ini, dan senantiasa menanam kebaikan yang akan berbuah kurma manis, bukan duri yang melukai. Wallahu a’lam bisshawab.