Tanjungtv.com – Angka-angka gemerlap seringkali memukau. Tapi apa artinya 4.362 izin usaha dan proyek miliaran rupiah jika masyarakat hanya jadi penonton di tanah mereka sendiri? Begitulah cerita dari Desa Medana, tempat harapan dan konflik bertemu di satu titik: pengelolaan Makam Medana.
Nasib, penjaga makam sekaligus ahli waris, berbicara blak-blakan tentang pengalaman pahitnya dengan pemerintah desa. “Waktu itu desa yang kelola, tapi malah kacau. Uang retribusi parkir diambil semua oleh desa, tidak ada yang sampai ke kami,” ungkapnya dengan nada kecewa.
Kisah ini menjadi bukti bahwa menarik retribusi dari tempat wisata memang terdengar indah di atas kertas, tetapi eksekusinya adalah cerita lain. Tak heran, ahli waris akhirnya mengambil kembali kendali.
Namun, Nasib tetap menunjukkan sikap terbuka. “Kalau dikelola dengan baik dan profesional, kami tidak keberatan. Asalkan ada manfaat nyata untuk masyarakat,” tegasnya.
Investasi yang Menggoda, Tapi Juga Mengkhawatirkan
Sementara konflik di Makam Medana menjadi sorotan lokal, arus investasi yang deras membawa perhatian nasional. Dalam Desember 2024 saja, Dinas Penanaman Modal KLU menerbitkan 144 nomor induk berusaha, dengan total mencapai 4.362 NIB sepanjang tahun. Proyek besar seperti Lombok Lux menandai ambisi investasi yang tinggi di Desa Medana.
Namun, Kepala Desa Medana, Lalu Didik Indra Cahyadi, sadar bahwa peluang besar ini tidak datang tanpa tantangan. “Kami harus segera merampungkan Peraturan Desa (Perdes) agar desa juga dapat pemasukan dari investasi ini,” ujarnya penuh semangat.
Beberapa destinasi yang sedang diincar untuk dikelola melalui Perdes adalah Pantai Impos, Pantai Bintang, dan, tentu saja, Makam Medana. Tetapi, seperti yang sudah terjadi, drama retribusi parkir dan konflik ahli waris menunjukkan bahwa ide ini jauh dari sederhana.
Digitalisasi dan Ekowisata: Harapan Baru atau Sekadar Wacana?
Meski tantangan begitu besar, optimisme tetap ada. Lalu Didik memaparkan rencananya untuk menerapkan digitalisasi parkir dan mengembangkan ekowisata. “Kalau sistemnya sudah seperti rumah sakit modern, pengelolaan parkir bisa lebih transparan,” katanya.
Konsep ekowisata juga mulai digarap untuk menjadikan Desa Medana lebih dari sekadar lokasi investasi. Didik ingin menjadikan desa ini sebagai contoh sukses bagaimana potensi lokal dapat dikelola dengan baik.
Masyarakat Tidak Mau Jadi Penonton
Di balik gemuruh investasi dan wacana besar, pertanyaan mendasar tetap ada: apakah semua ini benar-benar akan membawa manfaat bagi masyarakat kecil? Atau, seperti yang dikhawatirkan banyak orang, apakah ini hanya akan menjadi “fatamorgana ekonomi”?
Lombok Utara, khususnya Desa Medana, kini berada di persimpangan jalan. Apakah mereka akan memanfaatkan peluang besar ini untuk kesejahteraan desa, atau apakah mereka hanya akan melihat keuntungan mengalir ke pihak luar?
Masyarakat Medana, seperti halnya Nasib, tidak ingin sekadar menjadi pengamat di tanah leluhur mereka. Mereka butuh tindakan nyata, bukan sekadar janji manis.
Satu hal yang pasti, cerita ini baru dimulai. Dan kita semua akan melihat apakah Desa Medana memilih jalan “surga investasi” atau malah terjebak dalam drama yang tidak ada ujungnya.