Tanjungtv.com — Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram beberapa waktu lalu menyita tiga aset milik Aryanto Prametu, salah satu terpidana kasus korupsi pengadaan benih jagung di Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB tahun 2017. Meskipun aset-aset tersebut telah disita, hingga kini belum diketahui secara pasti nilai total dari tiga aset tersebut.
“Belum ada nominal pastinya,” kata Kasi Intel Kejari Mataram, Muhammad Harun Al Rasyid, Kamis (26/9). Meskipun belum ada nilai pasti, Harun optimis bahwa aset-aset tersebut cukup untuk mengganti kerugian negara sebesar Rp 7,8 miliar yang dibebankan kepada Aryanto Prametu oleh pengadilan. “Kita yakin aset tersebut senilai dengan kerugian negara,” tambahnya.
Tiga aset yang disita tersebut terdiri dari sebuah ruko seluas 68 meter persegi di depan Pasar Kebon Roek, Ampenan; sebuah gudang seluas 5.430 meter persegi di Jalan TGH Saleh Hambali, Dasan Cermen; dan sebuah rumah tipe 54 dengan luas tanah 124 meter persegi di Perumahan Permata Pagutan. Saat ini, proses penilaian terhadap aset-aset tersebut masih berlangsung oleh pihak yang berwenang.
Penyitaan aset dilakukan pada 28 Agustus 2024, berdasarkan putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang dikeluarkan pada September 2023. Aset-aset ini rencananya akan dilelang oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), dengan hasil lelang digunakan untuk membayar kerugian negara.
Dalam putusan PK, Aryanto Prametu dijatuhi hukuman penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta, lebih ringan dibandingkan vonis sebelumnya yang mencapai 8 tahun penjara dan denda Rp 400 juta. Aryanto bersama beberapa terdakwa lain, termasuk mantan Kepala Dinas Pertanian NTB Husnul Fauzi, terlibat dalam korupsi proyek pengadaan benih jagung senilai Rp 48,25 miliar.
Kasus ini masih berkembang dengan adanya lima tersangka baru yang ditetapkan Kejaksaan Tinggi NTB. Mereka berperan sebagai panitia pemeriksa hasil pekerjaan (PPHP) dalam proyek pengadaan benih jagung. Proyek ini sendiri menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 27,35 miliar, dengan sebagian kerugian telah dikembalikan oleh rekanan proyek.
Kejari Mataram terus melakukan upaya pemulihan kerugian negara dari kasus ini, sementara sidang para tersangka tambahan masih berlangsung di Pengadilan Tipikor Mataram.