Tanjungtv.com – Setiap tanggal 30 September, film Pengkhianatan G30S PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noer menjadi tontonan yang tak terelakkan. Pemutaran film ini seakan menjadi ritual nasional yang berlangsung sejak era Orde Baru, di mana film ini rutin diputar untuk mengingatkan masyarakat akan peristiwa kelam yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun sempat dihentikan pada era reformasi, tradisi ini kembali dihidupkan pada masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, menandai kembalinya agenda nonton bareng (nobar) film yang berdurasi lebih dari 4 jam tersebut. Hingga kini, film ini tetap menarik perhatian dan menyedot minat masyarakat.
Film dokumenter yang menggambarkan peristiwa kudeta berdarah tersebut disiarkan dengan tujuan utama untuk memperingati bahaya laten komunisme. Dalam konteks ini, film Pengkhianatan G30S PKI berfungsi sebagai alat pengingat bagi masyarakat, terutama generasi muda, tentang kekejaman yang pernah terjadi. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa agenda nobar ini kerap memicu perdebatan. Bagi sebagian kalangan, pemutaran film ini dibaca sebagai upaya untuk menanamkan perspektif politik tertentu, sementara penyelenggara nobar menyatakan bahwa pemutaran film ini murni sebagai refleksi sejarah.
Meski demikian, sejarah adalah hal yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Pidato terkenal Presiden Soekarno yang berbunyi “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” (Jas Merah) selalu relevan ketika kita dihadapkan pada upaya untuk mempelajari dan merenungkan peristiwa-peristiwa masa lalu. Melalui sejarah, bangsa ini bisa belajar dari kesalahan dan kejayaan yang pernah ada untuk membangun masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, pemutaran kembali film Pengkhianatan G30S PKI tidak hanya sekadar ritual tahunan, tetapi juga bentuk pengingat agar sejarah tidak dijadikan komoditas politik.
Sejarah Singkat PKI
PKI, atau Partai Komunis Indonesia, berakar dari organisasi Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang kemudian berubah menjadi PKI pada tahun 1920. Seiring dengan perkembangan politik di Indonesia, PKI tumbuh menjadi kekuatan politik yang signifikan, mencapai 16,36 persen suara dalam Pemilu 1955. Pada masa itu, PKI menjadi salah satu dari empat kekuatan politik terbesar di Indonesia, bersama dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, dan Nahdlatul Ulama (NU).
Namun, pengaruh besar yang dimiliki PKI tidak membawa kemakmuran yang dijanjikan kepada rakyat. Sebaliknya, mereka justru terlibat dalam berbagai pemberontakan berdarah, termasuk peristiwa Madiun 1948 dan yang paling terkenal, peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Pemberontakan G30S mengakibatkan terbunuhnya enam jenderal TNI-AD dan seorang perwira, yang akhirnya memicu penghancuran PKI di seluruh Indonesia. Peristiwa ini meninggalkan luka mendalam yang terus diperingati hingga hari ini.
Ideologi Komunisme dan Tantangan Masa Depan
Meski PKI secara resmi telah dibubarkan, ideologi komunisme tetap menjadi perhatian. Sebagai ideologi, komunisme tidak mudah diberantas karena ia berkembang dari gagasan dan nilai yang dianut oleh para pendukungnya. Sebagai sebuah ideologi, ia tetap bisa muncul dalam berbagai bentuk, terutama ketika kondisi sosial-politik suatu negara memungkinkan.
Di Indonesia, isu kebangkitan kembali ideologi komunis menjadi perhatian, terutama ketika keturunan eks-PKI mulai menuntut hak dan kesetaraan. Tuntutan ini didorong oleh kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin terasa di berbagai lapisan masyarakat, yang berpotensi menjadi lahan subur bagi pertumbuhan ideologi komunisme. Meski sebagian kalangan berpendapat bahwa komunisme telah mati seiring runtuhnya Uni Soviet, realitas sosial yang ada menunjukkan adanya ketidakpuasan dan ketidakadilan yang bisa menghidupkan kembali semangat tersebut.
Masyarakat dan Bahaya Laten Komunisme
Bagi sebagian masyarakat, komunisme tetap dianggap sebagai ancaman yang perlu diwaspadai. Kekhawatiran ini diperkuat dengan tuntutan pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966 yang melarang penyebaran komunisme di Indonesia. Tuntutan ini menunjukkan bahwa ada segmen masyarakat yang masih memiliki simpati terhadap PKI atau ideologi komunisme, meski secara politis partai tersebut telah hancur.
Dalam konteks ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk tidak hanya mewaspadai kebangkitan komunisme, tetapi juga bagaimana memperlakukan anak-anak keturunan PKI. Sebagai bangsa yang besar, penting untuk memisahkan antara dosa sejarah orang tua mereka dengan hak-hak anak cucu mereka yang tidak bersalah. Diskriminasi terhadap mereka hanya akan memperpanjang dendam sejarah yang berbahaya bagi persatuan bangsa.
Memahami Sejarah dan Menjaga Persatuan
Pemutaran film Pengkhianatan G30S PKI menjadi momen untuk merenungkan kembali perjalanan sejarah bangsa ini. Sejarah adalah alat yang ampuh untuk belajar dari masa lalu, menghindari kesalahan yang sama, dan membangun masa depan yang lebih baik. Di balik perdebatan tentang ideologi dan politik, yang terpenting adalah menjaga persatuan bangsa di tengah perbedaan. Sejarah PKI dan pemberontakannya adalah pengingat bahwa ideologi apa pun, jika tidak dikelola dengan baik, bisa memecah belah bangsa.
Pemutaran film ini pada setiap malam 30 September bukan hanya sekadar ritual tahunan, tetapi juga peringatan agar bangsa Indonesia tidak lupa akan sejarah dan terus waspada terhadap ancaman-ancaman yang bisa mengancam keutuhan dan persatuan negara.