Tanjungtv.com – Kasus dugaan korupsi pengadaan dua unit kapal muatan penumpang pada Dinas Perhubungan Kabupaten Bima, tahun 2019, mulai memasuki babak baru di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram. Pada Rabu (25/9), empat terdakwa, yakni M Saleh, Syaiful Arif, Aswad, dan Arifuddin, menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sidang ini menarik perhatian publik karena melibatkan dana negara yang diduga diselewengkan sebesar Rp 928 juta lebih.
Empat terdakwa disidang secara terpisah, namun semua dakwaan menunjukkan adanya indikasi kuat penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan kapal. JPU dalam dakwaannya menyatakan bahwa tindakan keempat terdakwa telah menyebabkan kerugian besar bagi keuangan negara. “Kasus ini sudah masuk tahap persidangan, dan pembacaan dakwaan dilakukan pada Rabu kemarin,” ujar seorang sumber di pengadilan.
Dalam dakwaan primair, para terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini mengatur tentang tindakan yang secara langsung merugikan keuangan negara.
Sedangkan dalam dakwaan subsidair, terdakwa didakwa melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 yang juga diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001. Pasal ini mencakup tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan memanfaatkan jabatannya, yang juga berakibat pada kerugian negara.
Dalam persidangan, terdakwa M Saleh menyatakan akan mengajukan eksepsi (nota keberatan) terhadap dakwaan yang dibacakan oleh JPU. Sementara itu, tiga terdakwa lainnya langsung melanjutkan persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi.
Sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Mataram ini akan memanggil sejumlah saksi penting yang memiliki keterkaitan dengan proyek pengadaan kapal. Saksi-saksi yang dipanggil antara lain pejabat dari Dinas Perhubungan Kabupaten Bima, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Unit Layanan Pengadaan (ULP), serta beberapa pihak dari Kementerian Desa yang berperan sebagai pemberi dana dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK).
Proses Pengadaan Kapal dan Dugaan Penyimpangan
Pengadaan dua unit kapal muatan penumpang ini awalnya bertujuan untuk meningkatkan transportasi penumpang di Kabupaten Bima. Namun, dalam pelaksanaannya, terdapat dugaan kuat bahwa proses pengadaan tersebut tidak berjalan sesuai prosedur. Berdasarkan penyelidikan, sejumlah dokumen pengadaan dan pelaksanaan proyek diduga direkayasa untuk memperkaya diri sendiri maupun pihak lain.
Kapal yang seharusnya sudah bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sejak 2019, hingga kini belum bisa beroperasi maksimal. Kondisi kapal yang tidak sesuai spesifikasi teknis juga menjadi salah satu bukti adanya penyimpangan dalam pengadaan proyek ini.
Proyek pengadaan kapal ini dibiayai oleh Dana Alokasi Khusus (DAK) yang disalurkan oleh Kementerian Desa. Dalam persidangan, JPU mengungkapkan bahwa alokasi dana untuk pengadaan kapal seharusnya digunakan secara transparan dan akuntabel. Namun, dalam praktiknya, dana tersebut diduga digunakan secara tidak semestinya oleh pihak-pihak terkait.
Pengadaan kapal ini seharusnya memberikan manfaat besar bagi masyarakat pesisir di Kabupaten Bima, terutama dalam meningkatkan akses transportasi antarpulau. Namun, dengan adanya dugaan korupsi, proyek ini justru berujung pada kerugian negara yang tidak sedikit.
Dengan dakwaan yang telah dibacakan, persidangan akan terus berlanjut dengan memeriksa saksi-saksi kunci dalam kasus ini. Para saksi yang dihadirkan diharapkan dapat memberikan keterangan yang lebih jelas mengenai aliran dana dan siapa saja yang terlibat dalam proses pengadaan kapal tersebut. Pengadilan Tipikor Mataram akan menggelar sidang lanjutan dalam beberapa pekan mendatang untuk mendengar keterangan saksi-saksi tersebut.
Kasus korupsi pengadaan kapal muatan penumpang ini menjadi salah satu sorotan publik di Kabupaten Bima dan NTB pada umumnya. Pemerintah dan masyarakat berharap agar proses hukum ini dapat berjalan transparan dan memberikan keadilan, serta menjadi pembelajaran agar penyalahgunaan dana publik tidak terulang kembali.