Tanjungtv.com – Sebuah kabupaten yang dikenal dengan keindahan alam dan destinasi wisata unggulannya, ternyata menyimpan “harta karun” yang belum digarap maksimal. Bukan dari pariwisata, melainkan dari sarang burung walet! Ya, bisnis eksotis ini sebenarnya memiliki potensi besar untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tapi sayangnya, potensi itu masih terbungkus rapi dalam lapisan misteri.
Andita Nopitasari, Kepala Bidang Pendapatan Bapenda KLU, dengan santai mengungkapkan bahwa sarang burung walet bisa menjadi penyumbang PAD yang signifikan. “Harga jualnya bisa mencapai Rp 8 juta per kilogram, tapi kita seperti meraba dalam gelap soal kapan mereka panen dan ke mana hasilnya dijual,” kata Andita sambil tersenyum kecut, Sabtu (14/12).
33 Sarang Walet, Tapi Berapa yang Taat Pajak?
Menurut data, ada 33 sarang burung walet yang terdaftar resmi di KLU. Namun, Andita yakin jumlah sebenarnya jauh lebih banyak. Masalahnya, sistem pemantauan transaksi dan penjualan sarang walet masih nihil. “Kami belum punya cara untuk mengetahui kapan panennya, apalagi siapa pembelinya. Saat ditanya, mereka sering bilang belum panen,” ujarnya. Jadi, bayangkan saja, potensi pajak seperti ini hilang begitu saja seperti angin di pantai Gili.
Pajak Seharga Kopi di Warung Pinggir Jalan?
Yang lebih mengejutkan, target pajak sarang burung walet di KLU hanya Rp 2 juta setahun! Ya, hanya Rp 2 juta. Bandingkan itu dengan harga satu kilogram sarang walet yang bisa mencapai Rp 8 juta. “Realisasinya sekarang sudah Rp 1,1 juta atau sekitar 93 persen. Tapi, jelas ini belum mencerminkan potensi sebenarnya,” tambah Andita.
Sebagian kecil wajib pajak yang taat memang memberikan kontribusi, termasuk beberapa anggota DPRD KLU. Tapi jumlah ini belum cukup untuk menggambarkan potensi ekonomi dari bisnis ini. “Alhamdulillah ada yang sadar dan mau bayar pajak. Dari situ kita bisa ada pemasukan,” katanya.
Antara Kesadaran dan Sistem yang Tertinggal
Permasalahan utama terletak pada kesadaran para pelaku usaha sarang walet dan ketiadaan sistem kontrol yang memadai. “Kami hanya bisa mengandalkan kesadaran mereka. Padahal, pajak ini sangat penting untuk pembangunan daerah,” jelasnya. Imbauan dari Andita agar para petani sarang walet lebih patuh membayar pajak sepertinya masih perlu usaha ekstra.
Peluang Emas yang Terabaikan
Bayangkan jika potensi ini digarap serius. Dengan pengelolaan yang baik, pajak dari sarang walet ini bisa menyumbang miliaran rupiah untuk PAD KLU. Namun, saat ini, pemerintah daerah masih berjuang membangun sistem yang mampu memantau transaksi dengan lebih akurat.
Siapa yang Harus Bergerak?
Masalah ini bukan hanya soal petani walet yang “malas” membayar pajak, tetapi juga tantangan pemerintah daerah untuk menciptakan kebijakan dan teknologi yang mendukung pengelolaan pajak ini. Tanpa langkah nyata, potensi emas dari sarang burung walet akan terus menjadi cerita “andai saja”.
Mari Bangun Kesadaran!
Kepada masyarakat KLU, mari jadikan pajak sebagai bagian dari tanggung jawab bersama. Bukan hanya soal kewajiban, tetapi juga kontribusi nyata untuk masa depan daerah. Dan kepada pemerintah daerah, jangan biarkan potensi sebesar ini hanya menjadi angan-angan. Waktunya bergerak cepat sebelum “harta karun” ini benar-benar menghilang dari radar.
Lombok Utara memiliki peluang besar untuk menonjol bukan hanya dari pariwisata, tetapi juga dari potensi pajak sarang burung walet. Apakah kita siap memanfaatkannya? Atau, biarkan saja potensi ini tetap menjadi “harta karun yang terkubur”? Waktunya menentukan!