Tanjungtv.com – Keberadaan anak jalanan (anjal) dan gelandangan serta pengemis (gepeng) di Kota Mataram masih menjadi fenomena yang sulit diatasi. Terlepas dari berbagai upaya penanganan yang dilakukan oleh pihak berwenang, seperti Dinas Sosial Kota Mataram, anjal dan gepeng terus membanjiri berbagai sudut kota. Temuan terbaru dari Dinas Sosial menunjukkan bahwa banyak di antara mereka bukanlah penduduk asli Mataram, melainkan berasal dari luar daerah yang sengaja didatangkan untuk melakukan aktivitas di jalanan.
Menurut Kepala Dinas Sosial Kota Mataram, Lalu Samsul Adnan, modus operandi yang digunakan oleh anjal dan gepeng masih sama seperti yang digunakan beberapa tahun terakhir. “Belum ada modus baru yang kita temukan. Mereka masih menggunakan pola lama di mana anak-anak, lansia, dan gepeng lainnya dibawa dari luar daerah ke Kota Mataram oleh pihak tertentu,” ungkapnya. Temuan ini mengejutkan banyak pihak karena mengindikasikan adanya keterlibatan jaringan yang memobilisasi individu-individu rentan untuk dieksploitasi di jalanan.
Kota Mataram sebagai Magnet
Sebagai pusat pemerintahan dan kota terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Mataram kerap menjadi destinasi favorit bagi para pendatang dari luar daerah. Banyak yang datang untuk mencari pekerjaan atau mengadu nasib, namun bagi sebagian kecil lainnya, kota ini menjadi tempat mencari uang dengan cara yang tidak lazim, yakni mengemis di jalanan.
Menurut temuan lapangan dari Satgas Sosial, banyak anjal dan gepeng yang ditemui di jalan-jalan utama Kota Mataram diangkut dari daerah sekitar, bahkan ada yang berasal dari luar pulau. “Ini menjadi fenomena yang menarik karena Kota Mataram seolah menjadi magnet bagi para pengemis dari luar daerah,” kata Samsul Adnan. Praktik ini menunjukkan adanya pola eksploitasi terhadap mereka yang berada dalam posisi ekonomi yang sulit, terutama anak-anak dan warga lanjut usia.
Dampak Serius pada Penanganan Sosial
Fenomena ini tidak hanya mempersulit penanganan sosial di Kota Mataram, tetapi juga memberikan tantangan besar bagi Dinas Sosial. Keberadaan anjal dan gepeng dari luar daerah menambah beban kerja dinas, yang sebelumnya sudah sibuk menangani masalah sosial internal kota. “Jika mereka berasal dari Kota Mataram, kita bisa lebih mudah melakukan pembinaan dan pengembalian ke keluarga. Tapi karena sebagian besar dari mereka dibawa dari luar, kita harus melakukan koordinasi lintas daerah, yang tentunya tidak mudah,” tambah Samsul.
Kondisi ini juga mempengaruhi efektivitas program-program yang dilakukan oleh Dinas Sosial. Misalnya, program pembinaan yang bertujuan memberikan keterampilan atau akses pendidikan bagi anak jalanan sulit diterapkan secara maksimal, karena sebagian besar dari mereka tidak menetap di Mataram dalam jangka waktu lama. Setelah beberapa waktu di jalanan, mereka seringkali dibawa kembali ke daerah asal mereka atau berpindah ke kota lain.
Modus Lama yang Terus Bertahan
Modus lama yang digunakan oleh para pelaku eksploitasi masih bertahan hingga kini. Seorang pelaku biasanya akan mengumpulkan anak-anak atau lansia dari desa-desa kecil di luar Mataram, lalu membawa mereka ke kota dengan iming-iming mendapatkan penghasilan lebih baik. Setibanya di Mataram, mereka dipaksa turun ke jalanan untuk meminta-minta. “Modus seperti ini sudah kita lihat bertahun-tahun, tetapi terus bertahan karena pelakunya sulit dilacak dan dihukum,” ujar Samsul Adnan.
Tidak hanya itu, anak-anak yang terlibat dalam praktik ini sering kali dijadikan tameng untuk menarik simpati masyarakat. “Kita menemukan banyak anak-anak yang tidak sekolah dan dipaksa turun ke jalanan. Mereka tidak hanya kehilangan hak pendidikan, tetapi juga terancam keselamatannya,” tambahnya.
Tindakan yang Dilakukan Dinas Sosial
Untuk menangani masalah ini, Dinas Sosial Kota Mataram terus mengupayakan pembinaan dan penertiban di lapangan. Satgas sosial kerap turun langsung untuk menemukan dan menemui anjal serta gepeng yang beroperasi di kota. Setelah ditemui, mereka biasanya dibawa ke kantor Dinas Sosial untuk mendapatkan pembinaan lebih lanjut. “Kita masih mengedepankan pembinaan dibandingkan dengan sanksi hukum. Setelah kita bina, mereka kita kembalikan ke alamat asal,” ujar Samsul.
Namun, langkah ini belum cukup untuk mengatasi masalah secara keseluruhan. Banyak dari anjal dan gepeng kembali ke jalanan setelah beberapa waktu karena tekanan ekonomi atau ajakan dari pelaku eksploitasi yang membawa mereka.
Koordinasi Lintas Daerah
Dinas Sosial Kota Mataram menyadari bahwa masalah ini tidak bisa diatasi sendirian. Koordinasi dengan dinas sosial dari daerah asal para anjal dan gepeng menjadi langkah penting untuk memastikan mereka tidak kembali ke Mataram. “Kami harus bekerja sama dengan pihak berwenang dari daerah lain agar mereka yang kita pulangkan benar-benar mendapat pengawasan dan tidak kembali ke sini,” kata Samsul.
Namun, koordinasi lintas daerah ini menghadapi berbagai kendala, seperti kurangnya data yang lengkap tentang asal usul para pengemis dan anak jalanan, serta terbatasnya anggaran dan sumber daya di daerah asal.
Kebutuhan Langkah Hukum yang Lebih Tegas
Banyak pihak yang mendesak agar Pemerintah Kota Mataram mengambil langkah hukum yang lebih tegas terhadap para pelaku eksploitasi. Mereka menilai bahwa pembinaan saja tidak cukup untuk menghentikan pergerakan anjal dan gepeng yang terus bermunculan. “Ada celah hukum yang memungkinkan pelaku eksploitasi anak dan lansia ini lolos dari jerat hukum. Ini yang harus kita perbaiki bersama,” ujar seorang aktivis sosial yang tidak ingin disebutkan namanya.
Harapan Ke Depan
Dinas Sosial Kota Mataram berharap dengan peningkatan koordinasi antar daerah dan penegakan hukum yang lebih tegas, masalah anjal dan gepeng ini dapat ditekan. Selain itu, perlu juga ada upaya edukasi kepada masyarakat agar tidak memberikan uang kepada pengemis di jalan, karena hal ini justru memperkuat rantai eksploitasi.
“Masalah ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat luas. Dengan kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat, kita bisa mengurangi keberadaan anjal dan gepeng di Kota Mataram,” tutup Samsul Adnan.